“Hachiiimmm… hachiimmmm…
hachiimmm…!” berkali-kali hidungku bersin ketika membersihkan kardus-kardus kusam
dan berdebu berisi buku-buku di gudang belakang. Banyak buku-buku peninggalan
zaman dahulu yang tersimpan di sini dan tenyata di antara buku-buku lawas itu
ada beberapa buku yang sangat dibutuhkan olehku saat ini. Makanya hari ini aku
berinisiatif untuk mencari buku-buku lawas milik Papaku.
Tadi pagi ketika sarapan, aku
menanyakan perihal buku-buku Papa yang disimpan di dalam gudang oleh Mama. Setelah sarapan dan mendapat informasi dari
mama, aku pun langsung tancap gas ke gudang dan mencari-cari barang yang
kubutuhkan. Sekian lamanya mataku mengembara ke sekeliling ruangan ini, akhirnya
kutemukan kardus coklat yang dimaksud Mama tadi.
Selesai membersihkan debu-debu yang
mengotori kardus berharga ini, tanganku dengan cekatan membuka lakban yang
menutup rapat celah kardus. Pelan-pelan isi di dalam kardus itu mulai terlihat
dan akhirnya terlihat keseluruhannya. Wah, hatiku benar-benar senang!
Buku yang berada di bagian teratas
adalah buku berjudul Inilah Bahasa Indonesia yang Benar dan Pelik-Pelik Bahasa
Indonesia karya DR. J.S. Badudu. “Wow, kereeen! Ini nih yang aku cari.” seruku
histeris. Buku-buku yang dianjurkan oleh Bapak dan Ibu dosen dikampusku ada di
sini, lengkap! Aku tak perlu susah-susah lagi membeli buku. Betapa beruntungnya
aku, punya Papa yang masih menjaga buku-bukunya dengan baik.
Wajahku berseri-seri sambil memilah
milih satu persatu buku. Ternyata selama ini Papa punya banyak simpanan
buku-buku berharga, benar-benar di luar dugaanku. Kebanyakan buku-buku pada saat
beliau masih kuliah di Universitas Widya Dharma Klaten.
Asal kalian tahu, aku dan Papaku menyukai
bidang yang sama, yaitu Bahasa dan Sastra Indonesia. Kami juga mempunyai hobi
yang sama, yaitu membuat dan membaca puisi. Papa sering mengajariku membaca
puisi, berpidato, jadi pembawa acara dan menulis karya sastra. Aku masih ingat betul
ketika aku masih kecil, waktu itu aku kelas 3 SD, Papaku pulang dari mengajar
membawa hadiah untukku berupa buku diari berwarna biru muda dengan gambar peri
cantik di tepi danau. Betapa senang dan bahagianya aku waktu itu. Sejak saat
itu aku jadi suka menulis diari. Apa yang aku alami selalu kutulis di buku diari.
Kalau bukunya sudah penuh, Papa akan membelikan buku diari yang baru lagi. Papa
membiarkanku mendalami hobiku menulis di diari, beliau sangat senang. Papa juga
pernah bilang padaku kalau beliau ingin sekali melihatku menjadi seorang
penulis dan sastrawan terkenal. Hmmm, jika mengingat hal itu aku jadi ingin
menangis!
Papaku adalah seorang guru bahasa
Indonesia di SMP Negeri 1 Tambak. Kata murid-muridnya, Papa adalah seorang guru
yang berwibawa tapi lucu. Katanya mereka senang jika diajar oleh Papa, materi
yang disampaikan mudah dipahami, cepat meresap dan tidak monoton. Pernah waktu
itu, ketika Papa milad, ada salah satu murid perempuannya yang memberikan kado
spesial untuk Papa. Kadonya berupa Kristal warna biru yang di dalamnya berisi
air raksa dan lumba-lumba yang sedang berenang. Uhh, waktu itu aku benar-benar
iri, ingin sekali punya kristal seperti itu. Kenapa Papa yang diberi?? Cemburu
sekali aku! Tapi Papa adalah sosok yang penuh dengan kasih sayang, tanpa diduga
ternyata Papa malah memberikan kado itu untukku. Mungkin beliau tahu kalau aku
menyukai kristal itu. Hehehe…, Papa tahu saja apa yang aku inginkan.
Kata orang, aku seperti Papa.
Pintar dibidang sastra! Ya mungkin karena keturunan atau bawaan dari Papa kali.
Hehehe. Selain itu, wajahku juga mirip sekali dengan Papa. Papa yang selalu aku
rindu!
Papa adalah sosok yang banyak
menginspirasiku, karena beliau aku jadi suka sastra! Ya, sejak SD aku sudah menyukai
pelajaran bahasa Indonesia, dari situlah aku jadi sering mengikuti berbagai
kegiatan yang berhubungan dengan sastra. Dari lomba mendongeng, lomba membaca
puisi, berpidato, jadi pembawa acara di perpisahan kelas 6 dan semua itu tak
lepas dari bimbingan Papa.
Ketika masuk MTs, aku jadi tambah
menyukai pelajaran bahasa Indonesia dan mulai berlatih menulis cerpen. Tentu
saja tetap dengan pengawasan dan bimbingan Papa. Tak heran jika saat itu aku
mempunyai keinginan untuk menjadi seorang guru bahasa Indonesia seperti Papa,
karena hanya pelajaran bahasa Indonesia yang aku kuasai. Pelajaran-pelajaran
yang lainnya menurutku biasa-biasa saja, tidak menarik!
Ketika masuk SMA pun, kegilaanku
pada pelajaran bahasa Indonesia semakin bertambah. Itu dibuktikan dengan
nilai-nilai bahasa Indonesiaku yang memuaskan. Aku juga jadi anak kesayangannya
guru bahasa Indonesia. Guruku sering memintaku untuk mewakili berbagai macam
lomba dibidang Bahasa dan Sastra Indonesia seperti lomba baca puisi, lomba
pidato, lomba menulis cerpen. Selain itu aku juga dipercaya untuk menjadi ketua
teater dan menjadi koordinator penulisan dan penyusunan buku Kumpulan Puisi
Siswa-Siswi SMA Negeri 1 Sumpiuh.
Harapanku tercapai! Setelah lulus
SMA aku melanjutkan kuliah di UNNES Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia. Usahaku selama ini membuahkan hasil! Cita-citaku sudah di depan
mata!! Keinginanku untuk menjadi guru Bahasa Indonesia seperti Papa tersalurkan. Ya, aku akan mengikuti jejak
Papa! Jejak Papa yang terhenti, bisa aku teruskan.
Lama sudah aku melamun,
membongkar-mbongkar kenangan masa lalu saat Papa masih di sampingku. sebutir
mutiara telah mengambang di pelupuk mataku, tapi aku tidak ingin membiarkannya
jatuh di pipi. Aku harus menyelesaikan kegiatanku ini tanpa kehilangan setetes
mutiara!
Tiba-tiba mataku tertuju pada
sebuah buku tebal bersampul merah marun di bawah buku Tata Bahasa Baku.
Keningku berkerut, “Buku apa ini? Kok nggak ada judulnya??” tanyaku dalam hati.
Karena penasaran, aku memberanikan diri membuka covernya. Dilembar pertama aku
menemukan nama Papaku tertera di sudut kanan atas. Kertasnya dari kertas buram,
dan sudah kusam. Mungkin buku ini sudah berumur puluhan tahun.
Kubuka lembar yang kedua. Tulisan
tangan Papaku yang indah dan memukau menyambutku dengan senyuman. Sebuah puisi
berjudul ‘Pertemuanku’ yang ditulis pada tahun 1989. Aku benar-benar terkejut
sekaligus takjub. Betapa tidak? Aku telah menemukan harta karun milik Papa!
Mataku berbinar-binar, semangatku
terpacu untuk terus membuka lembaran demi lembaran buku kumpulan puisi milik
Papa ini. Berenda-renda kata demi kata nan mempesona kulahap dengan sepenuh
jiwa. Kadang aku tersenyum ketika menemukan kata-kata yang lucu, seperti saat
Papa menuliskan nama Mama di antara puisinya tahun 1990. Ternyata Papa romantis
dan suka menggombal juga! Hehehee.
Ketika sampai dilembaran kedua puluh,
tiba-tiba secarik kertas berwarna merah jingga yang terlipat rapi jatuh di atas
kakiku. Aku sedikit kaget! Ragu-ragu, kuambil kertas itu kemudian kuamati
sejenak. Timbullah rasa penasaranku dan akhirnya kuberanikan diri membuka
lipatannya pelan-pelan.
Deg! Jantungku terpacu kencang
ketika sebuah kalimat paling atas terbaca oleh penglihatanku. Mutiara beningku
tak bisa kutahan lagi, pagar pelupuk mataku telah roboh begitu saja!
“Papaaaaaaaa!”
Kutelusuri kata demi kata, bait
demi bait, baris demi baris. Sebuah pesan tersirat di kertas merah jingga ini.
Surat Merah Jingga untuk Anakku
Hari masih begitu pagi, anakku
Tentunya kau sudah tergugah
Melangkahlah, anakku
Karna langkah adalah kehidupan
Tengoklah timurmu, anakku
Karna matahari pagi begitu
menyegarkan
Bayunya menguatkan tulang
Sebelum berjalan ke barat
Penuhi celah-celah hidupmu
Dengan segala ilmu
Kan berguna dihari siang
Ketika matahari di tengah ubun-ubun
Tutuplah kepalamu
Karena hari akan panas membara
Ranting-ranting akan meleleh
Ketika badai datang
Janganlah kau naikkan layang-layang
Jangan kau taburkan angan-angan
Gunakan tongkatmu, anakku
Kalau kau sudah di atas bukit
Jangan kau injak rumput berduri
Jangan kau pangkas ranting
menghadang
Ingatlah, anakku
Bukit selalu punya lembah
Ariflah, anakku…
Cipayung, 26 April 2005
Suharto
(untuk anak tersayang Papa,
Dhaifina cilik)
Mutiara beningku mengalir deras.
Aku memeluki surat berwarna merah jingga itu, kulekatkan di dadaku, aku ingin
meresapi seluruh isi katanya, seluruh isi pesan-pesannya untukku, anak semata
wayangnya! Sebuah coretan tangan terakhirnya beberapa tahun yang lalu yang
beliau selipkan di dalam lembaran buku kumpulan puisinya yang tak pernah kutahu.
Bayanganku tertuju pada sesosok
Papa yang selama ini kurindu, benar-benar kurindu setelah kepergiannya satu
tahun yang lalu, untuk menemui panggilan-Nya.
“Papa, kau tetap hidup dalam
tulisan-tulisanmu ini meski ragamu tlah tiada.” ucapku lirih, hampir tak
terdengar. “Oh papaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!” teriakku histeris. Aku sangat
berharap ketika kututup mata ini satu menit saja, Papa akan datang ke sini dan
memelukku erat. Sekali lagi dan takkan kubiarkan kau pergi lagi jika tidak
mengajakku!
Semarang,
31 Maret 2012
1:07 AM
Catatan:
Puisi “Surat Merah Jingga untuk Anakku” adalah salah satu
puisi karya Papa saya yang telah mendapatkan juara 1 ketika beliau mengikuti
acara pelatihan dan penataran di Cipayung, Jawa Barat tahun 2005.
Untuk Papa, terimakasih atas surat yang kau berikan. Aku
adalah putri kecilmu, kau adalah inspirasi terbesarku dan hidupku. Anak rantau
ini benar-benar merindukan Papa dan menunggu sapaan mesra Papa di telepon esok
hari.