Karena Aku Bukan Pelangi

Aku merindukanmu, seperti kelam yang merindukan terang, seperti kemarau yang merindukan hujan, seperti duka yang merindukan bahagia.... Apakah kau merasakan?

Empat waktu aku diliputi sunyi dan kelam tanpa sapamu, tanpa kabarmu, tanpa jiwamu yang halal di sisiku. Apakah kau tahu?

Kalau saja dara masih mampu berkirim kabar dalam awan yang begitu berbahaya, mungkin aku tak perlu diam-diam mengintipmu lewat jejaring sosial yang tak pernah menghilangkan gelisahku.

Setiap kali membuka facebook, yang tak pernah kulupakan adalah melihat dinding profilmu, apakah ada update status terbarumu? Apakah statusmu berhubungan denganku? Oh, ternyata tidak!

Dalam coretan di setiap dinding facebookku, yang selalu aku tunggu adalah komentar darimu. Tapi dari sekian ratus ribu statusku dan note puisi yang kutunjukan untukmu, kamu hanya berkomentar 1 kali! Sungguh ironis!!

Seharusnya aku bangun dan membuka mata lebar-lebar. ”Aku adalah hitam dan akan terus jadi hitam, karena aku bukan warna pelangi dimatamu!!” Teriakku lantang, pada langit yang kelabu.

Ketika langit itu tersenyum, memori 7 waktu yang lalu diputar secara real, menampilkan sejarah yang mengharuskanku mengenang tapak-tapak cinta pertama di sebuah penjara suci bernama MifBa...

Kini sejarah itu menjadi kerinduan yang membisu dan memaksaku untuk menjadi rintik hujan disepanjang sore. Rintik hujan yang tak pernah romantis, tapi selalu menuntut untuk tetap romantis, karena setiap tetes hujan itu selalu melahirkan lembaran tentangmu yang kritis dan koma. Sekalipun sungguh, rintikku ini tak pernah meninggalkan merah, kuning, pink ataupun hijau di sudut hatimu, yang tetap tinggal di sini adalah kelam berdebu dan pelangi tanpa warna.